KONFLIK
politik dan bencana alam memperparah situasi krisis
dan penderitaan berkepanjangan di Aceh. Kita masih ingat, sebelum bencana, pembakaran
sejumlah sekolah di Aceh akibat konflik politik. Kini
gelombang tsunami menyapu dan meluluhlantakkan
sejumlah sekolah dan menghancurkan sistem pendidikan.
Anak-anak
selalu menjadi korban utama dalam konflik politik maupun bencana alam. Dunia pendidikan kita, yang dalam keadaan normal
masih carut marut jika dilihat dari sudut manajerial, kini kian kacau dan tidak tahu lagi harus
berbuat apa saat menghadapi krisis dan darurat akibat
bencana.
Situasi
darurat akibat krisis politik dan bencana alam bisa terjadi di mana saja. Maka, dalam pertemuan di Dakar, Senegal, April 2000, Unesco
memikirkan dan mempelajari sebuah kerangka kerja bersama bagi kelangsungan
pendidikan pada masyarakat yang ditimpa krisis politik maupun bencana. Pembahasan kelangsungan pendidikan dalam situasi darurat dan krisis
merupakan pengejawantahan keprihatinan
atas Deklarasi Hak- hak Asasi Manusia Universal, tertuang
dalam Pasal 26 Ayat (1), "Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan gratis semestinya diberikan pada tingkat dasar atau
tingkat paling fundamental. Pendidikan dasar merupakan
hal amat esensial dan dilindungi oleh hukum".
Apa yang menjadi keprihatinan
di balik pemikiran untuk mengantisipasi situasi
pendidikan darurat dan krisis, entah akibat konflik politik maupun bencana,
adalah tetap dijaga dan dihormatinya hak- hak dasar
manusia atas pendidikan. Artikel 26 Ayat (1) menegaskan,
pendidikan dasar yang tersedia dan dijamin hukum merupakan salah satu langkah
nyata atas realisasi hak-hak dasar ini.
Dua
sasaran utama menciptakan kelangsungan pendidikan dalam situasi darurat adalah
terjaminnya pendidikan bagi semua (education for all) dan promosi pendidikan
yang selaras dengan deklarasi hak-hak asasi manusia
universal.
Memahami
pendidikan sebagai hak fundamental inilah yang biasanya luput
dari perhatian banyak orang, staf organisasi kemanusiaan, pemerintah, dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) saat bencana hebat seperti terjadi di Aceh dan
penduduk sepanjang pantai tersapu gelombang. Konsentrasi pada evakuasi
korban, pemenuhan kebutuhan fundamental, seperti bahan makanan, obat- obatan,
dan lain-lain membuat lembaga-lembaga kemanusiaan dan pemerintah tidak melihat
kepentingan mendesak untuk segera merestorasi akses
pendidikan bagi anak-anak yang tertimpa bencana. Mereka lupa, anak-anak bukanlah selimut atau tenda
yang bisa disimpan lama sembari menunggu situasi
normal untuk memulai kembali kelangsungan pendidikan yang mereka terima.
Menunggu sampai situasi normal, baru kemudian memikirkan kelangsungan
pendidikan, hanya akan memosisikan
mereka sebagai "generasi yang hilang" dalam struktur dan tatanan
masyarakat.
Penderitaan
ganda
Situasi
pendidikan di Aceh mengalami penderitaan ganda. Pertama, sistem pendidikan lumpuh
karena konflik politik dan kekerasan bersenjata mengorbankan
warga sipil dan anak-anak. Kedua, krisis karena
bencana alam yang menghancurkan sarana pendidikan menciptakan situasi traumatis-psikologis akibat kematian orang-orang tercinta.
Penderitaan
ganda ini mewajibkan berbagai pihak untuk menilai kembali posisi konfliktual yang mereka hadapi dalam kerangka mencari
langkah-langkah penyelesaian konflik yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Merupakan sebuah tanggung jawab
moral bagi setiap pihak untuk pertama-tama menghentikan perang. Konflik bersenjata antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah
semestinya dihentikan mengingat beberapa bantuan kemanusiaan tidak sampai
sasaran karena transportasi masih terputus, maupun
ancaman konflik bersenjata yang bisa berlangsung kapan saja. Melanjutkan operasi militer bagi kedua pihak yang berkonflik dalam situasi darurat seperti sekarang hanya
menunjukkan tidak adanya kepekaan atas kesediaan untuk menghargai martabat
kemanusiaan.
Kedua, berhadapan
dengan luluh lantaknya sistem pendidikan di Aceh dan
daerah lain yang diterjang tsunami, pemerintah
bekerja sama dengan LSM- LSM, baik internasional maupun nasional, mesti segera
memikirkan kelangsungan pendidikan, terutama bagi anak- anak dengan memerhatikan dimensi psikologis yang mereka alami. Dalam hal ini, menyiapkan para guru yang dibekali pengetahuan
psikologis untuk mengenali situasi kejiwaan anak-anak yang menjadi korban
merupakan sebuah kemendesakan.
Membangun kembali
prasarana dan sarana pendidikan pascabencana di satu
sisi memberi semacam keuntungan berupa kesempatan membangun kembali sistem
pendidikan yang menghindari kelemahan dan kesalahan di masa lalu, menciptakan
sistem pendidikan yang menghargai harkat kemanusiaan, menciptakan solidaritas
dan harmoni yang memecah
akar- akar konflik politik. Demikian juga merupakan sebuah
kesempatan untuk merekonseptualisasi kurikulum dan
metode dalam kerangka jangka panjang berdasar kebutuhan nyata siswa, termasuk
memperkuat sistem formasi pengajar dengan memberi berbagai macam pelatihan yang
dibutuhkan.
Memberi beasiswa
bagi pelajar korban atau memindahkan mereka ke sekolah lain merupakan usaha
yang patut dihargai, tetapi
tetap bukan perwujudan adanya rasa krisis (sense of crisis) dan penghargaan
bagi siswa yang menjadi korban bencana, mengingat situasi psikologis yang
mereka alami begitu traumatis di mana program
pendidikan nasional yang diterapkan dalam situasi normal amat jauh dari apa
yang mereka butuhkan. Program pendidikan nasional tidak dapat diterapkan dalam
situasi pendidikan darurat seperti terjadi di Aceh dan daerah bencana lain. Inilah yang harus diingat dan diperhatikan sebelum mengambil
langkah-langkah penyelamatan atas kelangsungan pendidikan anak-anak korban
bencana.
Tanggapan
terhadap situasi pendidikan darurat sering fragmentaris
karena adanya berbagai macam kesulitan di lapangan maupun dalam kerangka
pemberian kewenangan. Untuk kasus
Aceh, sudah semestinya pemerintah membuka akses sebesar-sebesarnya
bagi lembaga internasional, seperti Unesco, agar
mereka mampu bekerja sama dengan LSM-LSM lokal maupun nasional dalam membangun
kembali dunia pendidikan di Aceh.
Sementara itu,
sudah merupakan conditio sine qua non untuk mengatasi
kendala yang bersifat politis, terlebih dalam menghentikan konflik bersenjata,
membangun jalur dialog antara pihak pemerintah dan kelompok bersenjata di Aceh
untuk menghentikan perang, dan turun tangan secara bersama-sama dalam
menciptakan masa depan yang lebih baik yang menghormati kemartabatan
sesama manusia.
Menciptakan
kesadaran baru
Menyadari kemendesakan untuk segera membangun kembali situasi
pendidikan di Aceh merupakan langkah awal yang baik guna memulai sebuah
masyarakat baru yang menghargai hak-hak dasar manusia, seperti tercantum dalam deklarasi hak-hak asasi manusia universal dan UUD 1945
dalam kerangka pendidikan, terutama hak tiap orang untuk mengenyam
pendidikan yang layak, apa pun situasi yang sedang mereka hadapi. Untuk ini, kepentingan politik, semestinya mengatasi kepentingan
mendesak para korban yang kemanusiaannya diinjak-injak entah karena situasi politik sebelum maupun
sesudah bencana.
Semoga
kesadaran baru seperti ini merupakan langkah awal yang baik untuk menata
kembali puing-puing reruntuhan sistem pendidikan di
daerah-daerah yang terkena bencana, terutama di Aceh, yang hari-hari ini
menjadi semakin istimewa. Sebab,
bencana Aceh tak hanya mengabarkan duka di setiap
keluarga umat manusia, tetapi sebuah momen kelahiran
bagi sebuah solidaritas umat manusia universal yang mengatasi sekat-sekat agama, terlebih sekat-sekat
politik yang selama ini membuat masyarakat Aceh terpuruk
dalam lembah duka lara tiada
tara.
Doni Koesoema A Mahasiswa
Universitas Gregoriana, Roma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar